Kamis, 30 Desember 2010

"Berjilbab" budaya pop ataukah identitas??


Jilbab dalam Islam merupakan representasi dari nafs al-mu’minaat yang telah dibersihkan (al-muththahharuun), cahaya iman yang telah “diberi pakaian” taqwa, dan karenanya jilbab juga merupakan representasi dari akhlaq yang mulia, keikhsanan.

Fenomena menarik dari maraknya penggunaan jilbab di Indonesia, bahwa gerakan jilbab di Indonesia justru dipelopori oleh mahasiswi dilingkungan perguruan tinggi non IAIN dan sekolah menengah non-pesantren-institusi “sekuler”. Dari sini, popularitas jilbab kian mengemuka dan sangat menarik untuk didiskusikan kompromi yang terjadi, tradisi Arab dan apa yang merupakan ajaran agama. Cadar jarang dikenakan para mahasiswi di institusi perguruan tinggi Islam, justru dikenakan oleh mahasiswi dilingkungan perguruan tinggi sekuler. Perwujudan Islam yang lebih ekstrim menemukan dukungannya pada mereka yang belum mendalami nilai-nilai Islam semenjak kanak-kanak, namun oleh mereka yang menemukan pentingnya Islam dikemudian dalam kehidupan mereka.

Jilbab di Indonesia, adalah merupakan suatu peristiwa “100% modern bahkan terlampau modern” dimana perempuan berjilbab adalah sebagai suatu tanda globalisasi, suatu lambang identifikasi orang Islam di Indonesia dengan umat Islam di negara-negara lain di dunia modern ini, serta menolak tradisi lokal, paling tidak dalam hal berpakaian, dan sekaligus sipemakai juga menolak hegemoni Barat.
Pada awal mula “kedatangan” jilbab atau kerudung [jawa : kudung] hanya dianggap sebagai simbol busana kaum pinggiran, selain itu sipemakai pun sangat dibatasi oleh ruang dan waktu, semisal pada saat melayat, shalat tarawih jama’ah, atau pada saat hari raya [‘iedul fitri & ‘iedul adha]. Sedangkan wanita yang mengenakannya kemanapun ia pergi biasanya adalah seorang wanita yang telah ber-haji [hajjah] atau kalangan tertentu saja seperti pesantren. Tentu saja, hari ini hal tersebut telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Jilbab pada dekade 80 dan 90-an [terlebih saat sekarang] telah menjadi mode dan menjadi simbol identitas muslim yang diakui di kalangan gadis-gadis muda.

Mesti ditegaskan bahwa rasa takut dan tekanan dari rumah harus dihadapi para gadis yang mengenakan busana itu. Banyak gadis yang tetap mengenakannya meski mendapat tentangan di rumah. Hal itu merupakan cara yang sopan untuk mengatakan : disinilah saya berdiri dan saya bangga karenanya. Jilbab bagi mereka adalah sebuah pembebasan. Karena dengan jilbab, mereka bisa beraktivitas di masyarakat secara leluasa tanpa harus dipandang rendah oleh orang lain. Feminisme biasanya memprotes ihwal terlalu dominannya laki-laki dalam melahirkan teologi kekuasaan. Misalnya, benturan dengan penggunaan jilbab yang diasumsikan sebagai penjara bagi kaum perempuan, meski banyak juga yang membantah asumsi itu.

Jilbab hari ini, pemaknaannya begitu beragam. Membawa kecenderungan kearah ideologis. Bagi mereka yang kadang-kadang memakai jilbab dan kadang-kadang tidak tergantung perasaan dan keadaan jilbab hanyalah suatu cara berpakaian, bukan sebagai suatu simbol agama yang dikaitkan dengan suatu station spiritualitas tertentu. Pola pemahaman dan penafsiran terhadap jilbab seperti ini cukup banyak, dan bisa dikatakan sebagai suatu gejala yang biasa saja di kalangan aktivis yang bergelut dengan wacana. Suatu kesangsian semiotik terhadap jilbab dengan kesimpulan yang terlalu fatalis.


Mengemukanya jilbab utamanya 10 tahun terakhir bisa dikategorikan sebagai sebuah fenomena gaya hidup pop, fenomena yang biasanya dikenal dengan nama “kudung gaul”, “jilbab trendi” atau “jilbab paris” atau “jilbab humaira” Wanita yang mengenakan kerudung up to date tersebut biasanya selalu mengenakan jilbab pada saat bepergian keluar rumah. Jilbab itu kemudian dikombinasikan dengan pakaian semisal sweater atau t-shirt yang “press body”, tak ayal lekak-lekuk tubuhnya terdeteksi dan tergantung di atas pinggangnya, inipun masih dipadu dengan celana [jeans atau katun] yang demi sebuah ke”matching”an juga ketat, stretch atau hipster.

2 komentar:

  1. Bahan diskusi yg menarik !!!

    Namun menurut ku, Jilbab memang suatu keinginan, luhur, berasal dr sebuah hidayah, bukan hikayat (seperti seorag anak yg berjilbab krna keluarganya berjilbab).

    Banyak alasan orag memakai jilbab.
    yg menarik, asumsi seorag wanita mengenakan jilbab selain menutp aurat, yaitu mengurangi "pancingan" hasrat dr lawan jenis.

    bisakah kita mengukur efek hasrat lawan jenis, atau bisakah jilbab menjamin kita bahwa tak seorangpun berani menyentuh si pemakai jilbab???

    Tahun Baru Tiap Hari

    BalasHapus
  2. Gmbr yg ke-2. Kok seperti baju renang...

    BalasHapus